Jumat, 22 Agustus 2008

Abu Nawas Ke Indonesia

Oleh : Abdul Malik
Batam Pos, 24 Agustus 2006


Begitulah pertanyaan yang tak ada jawabnya dua minggu lalu, meski kabar burung membahana di sekutah Bagdad dan Irak umumnya. Misi rahasia itu diketahui kalangan istana dan rakyat setelah hari ini Abu Nawas menyampaikan laporan pertanggungjawabannya kepada Sultan Harun al-Rasyid. Mulanya, tokoh jenaka tetapi pintar, arif, dan alim ini enggan melaksanakan tugas itu. Dia tak mau terbabit urusan dalam negeri bangsa lain, apalagi Indonesia bersahabat baik dengan Irak.
”Justeru itu,” titah Sultan. ”Beta ingin kamu melaksanakan misi ini untuk menolong saudara-saudara kita. Tak ada batas negara bagi persaudaraan sejati, sepanjang kita tak melanggar kedaulatan hukum mereka.”


Abu Nawas tak kuasa mengelak dan sekarang dia kembali menghadap Sultan di Istana. ”Beta ingin mengetahui pengalaman kamu melacak kasus ini. Sulitkah? Betulkah kamu sudah melaksanakan misi, sebab hanya dalam dua minggu. Padahal, Indonesia sudah melaksanakannya sejak 1998, sampai hari ini belum tuntas?” Sultan menatap tajam Abu Nawas.
“O, inilah pekerjaan yang paling sulit dan pelik sepanjang karier hamba, Tuanku. Kalau hamba masih seperti dulu, tentulah kepala hamba pecah dan pinggang hamba jadi bengkok. Andi Mallarangeng saja harus menegangkan leher dan mengibas-ngibaskan tangan berkali-kali untuk meyakinkan Faisal Basri dan pemirsa TV bahwa sudah terjadi pengusutan hukum yang lebih baik kini,” jawab Abu Nawas sambil mengerutkan dahi dan mengerlingi Sultan.


”Baik, silalah sampaikan laporanmu.” “Semua berkas hukum yang 50 persen tak jelas itu sudah hamba periksa. Sangat betul tak tuntas dan aneh dipandang dari sudut hukum yang berlaku. Sayang dan malang, ada saksinya yang sudah meninggal, ada saksi tak mau bersaksi karena 1001 alasan, ada bukti yang hilang dan tertukar dengan sendirinya, dan macam-macam lagi,” Abu Nawas memaparkan.
Sultan Harun al-Rasyid termenung. Dalam hatinya bergumam, “Begitu parahkah?” lalu Baginda melanjutkan, “Di manakah semua berkas itu? Kamu bawakah ke hadapan Beta?”


Abu Nawas menceritakan bahwa semua berkas itu dibawanya, tetapi tak ke istana Sultan. “Lalu ke mana? Kamu pendapkan atau kamu hilangkan lagi?”
“Hamba tersinggung dengan ucapan Tuanku yang terakhir itu. Jelek-jelek begini, bukan kualitas Abu Nawas itu. Mestinya Tuanku tahu,” raut wajah Abu Nawas merona kemerahan.


“Maafkan kelancangan Beta, tapi di mana, Abu Nawas?” lembut pertanyaan Sultan yang membuat Abu Nawas geli di hati.
“Hamba amankan di tempat teraman, Tuanku. Di gerbang akhirat. Hemat hamba, perkara-perkara itu hanya dapat diselesaikan di alam akhirat. Di sana semua bukti, saksi, hakim, jaksa, panitera, masyarakat, dan lain-lain—hendak atau enggan—akan rela berkolaborasi untuk pengadilan dan keadilan yang sesungguhnya. Hanya Pengadilan Akhirat yang mampu menuntaskannya, Tuanku. Menjelang masuk ke alam akhirat nanti, akan hamba ambil dan serahkan kepada Tuanku sambil kita mengambil “mahkota cahaya” yang Tuanku dambakan itu.”
Sultan tersipu mendengar mahkota cahaya yang disebutkan Abu Nawas. “Sabit di akal Beta, Abu. Lalu, mengapa kamu melaksanakan pekerjaan yang tak Beta titahkan? Itu boleh menimbulkan aib karena di luar kearifan dan kebijaksanaan Beta?” Sultan membusungkan dada ketika menyebut kata “kearifan” dan “kebijaksanaan”.


“Bukan bermaksud mendurhaka, Tuanku. Daripada hamba ditugasi dua kali di tempat yang sama, lebih baik hamba tuntaskan saja. Di sana ada sistem cepat yang nilai hukumnya sama. Nah, demi efisiensi, lebih baik lembaga yang lamban dilikuidasi. Dengan begitu, banyak sekali dana dan tenaga yang dapat dihemat. Apalagi, mereka memerlukan banyak sekali daya dan dana untuk rekonstruksi fisik pascabencana, rekonstruksi sosial, mengejar pertumbuhan ekonomi 6,4 persen pada 2007, pengembangan infrastruktur, dan lain-lain untuk menjadikan negeri mereka indah berseri. Maka, hamba usul gedung-gedung SLTA itu dieliminasi agar tak menghamburkan biaya pemeliharaan, operasional, gaji guru, dan lain-lain”. ”Tapi, mengapa dan ada yang disisakan di tempat tertentu?” Sultan makin penasaran.


“Di sana ada sistem cepat 3-6 bulan yang nilainya sama dengan SLTA. Sesudah itu, semua orang boleh bekerja dengan persyaratan SLTA atau melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Jadi, untuk apa SLTA? Inefisiensi, lagi pula di sana—bukan basa-basi—ada pemeo, “Jalan pintas dianggap pantas.” Kelop, Tuanku. Soal ada gedung yang masih hamba sisakan di sekitar kantor-kantor yudikatif, supaya kursus dapat dilaksanakan di situ dan yang mengikutinya merasa aman, nyaman, dan selesa. Laporan selesai, Tuanku.”
”Kelop, Abu Nawas. Tak sia-sia dan tak salah Beta mengutus kamu,” puji Sultan, puas.


“Kali ini salah, Tuanku,” Abu Nawas memotong cepat, “dan itulah alasan kedua hamba agak enggan menunaikan misi ini. Salangkan negeri kita diporak-porandakan Amerika Serikat, Tuanku, para menteri, seluruh rakyat Irak bahkan hamba, tak mampu berbuat apa-apa. Perpustakaan, museum, dan situs arkeologi kita menjadi sasaran utama gempuran mereka supaya tak ada lagi yang dapat kita banggakan. Hamba pun harus dilenyapkan dari memori para penerus karena dianggap berbahaya jika bangkit. Kini Palestina, Libanon, dan dunia Islam yang lain dihancurkan dan diintimidasi. Anak-anak, kaum wanita, orang tua-tua, bangunan, hewan ternak semua dimusnahkan Israel yang didalangi Amerika Serikat. Kalau dulu, takkan hamba biarkan semua tragedi memilukan dan memalukan ini terjadi,” Abu Nawas tampak serius.
”Lalu, mengapa kamu tak bertindak? Adakah karena belum Beta perintahkan?”
”Untuk ini, hamba tak memerlukan perintah Tuanku, tapi kita memang tak boleh. Sadarkah Tuanku, di mana kita sekarang?”
”Astaghfirullah,” terperanjat Sultan Harun al-Rasyid.


”Kita tak boleh lagi mencampuri ini. Yang Tuanku lakukan sekarang setengah mukjizat. Cuma, sedikit harap, adalah yang mampu membangkitkan hamba kembali ke dunia. Ya, kita di alam barzah, Tuanku,” Abu Nawas menutup laporannya dengan wajah muram sambil memberi hormat. Namun, karena tergesa-gesa, dia salah mengatur sembah. Sambil menghadap pintu keluar, dia membungkuk sehingga Sultan ditungginginya. Ada pula yang melengket di kedudukan celananya. ”Apa yang menempel di pantat celanamu Abu?” tanya Sultan kesal, tetapi tersipu. Para menteri terkekeh-kekeh. ”Karpet Indonesia, Tuanku, untuk oleh-oleh!” jawab Abu Nawas tanpa menoleh dan terus berlalu.

Tidak ada komentar: