Jumat, 22 Agustus 2008

Pidato Kenegaraan : Bisa untuk Ekonomi pada Tahun Politik

Bisa! Kita Bisa! Demikian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berulang kali mengekspresikan optimismenya selama pidato kenegaraan, Jumat (15/8). Sepanjang pidato, Presiden lebih banyak menghabiskan waktu mengurai ”prestasi” pemerintah selama empat tahun dan janji setahun ke depan.

Inilah pidato kenegaraan keempat Presiden Yudhoyono di hadapan parlemen menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Prestasi itu antara lain soal angka kemiskinan yang mengalami penurunan dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 persen tahun ini. Ini, lanjut Presiden, adalah angka kemiskinan terendah selama sepuluh tahun terakhir.
Meski tahun 2009 adalah tahun politik, Presiden Yudhoyono melalui pidatonya mengisyaratkan prioritas pemerintahannya, yang tinggal setahun lagi, untuk membenahi persoalan ekonomi dan kesejahteraan. Tekanan katanya juga banyak terkait persoalan pangan dan energi.

Penekanan terhadap bidang ekonomi dapat dilihat dari durasi waktu dan pilihan kata yang banyak digunakan Presiden Yudhoyono selama berpidato. Teks pidato yang terdiri dari 7.933 kata dan dibacakan selama 78 menit itu, porsi terbesar, 53 menit atau 68 persen, tersedot untuk pemaparan kondisi ekonomi dan kesejahteraan sosial. Paparan itu mengenai banyak pencapaian di bidang ekonomi, program menyejahterakan rakyat yang sudah berjalan, maupun alokasi anggaran tahun depan.

Demikian juga soal angka pengangguran yang turun sebanyak 2 persen selama dua tahun terakhir, dari 10,5 persen tahun 2006 menjadi 8,5 persen tahun 2008. Momentum pidato kenegaraan itu dijadikan media efektif menyapa rakyat.

Terkait krisis pangan dan energi, Presiden mengucapkan kata ”krisis” sebanyak 14 kali. Kata ”pangan” diucapkan 16 kali dan kata ”energi” sebanyak 30 kali. Kata ”subsidi” yang terkait dengan kedua persoalan itu sebanyak 20 kali. Kata ”minyak”, ”BBM”, dan ”listrik” yang menjadi fundamental energi juga bertebaran, masing-masing diucapkan 26, 12, dan 16 kali.

Begitu banyaknya kata terkait energi dan pangan diulang-ulang oleh Presiden menunjukkan besarnya perhatian yang sudah dan akan dicurahkan pada masalah ini. Hanya, nuansa yang tertampilkan lebih menunjukkan argumentasi pembelaan diri.

Kenaikan harga bahan bakar minyak tidak disinggung secara langsung oleh Presiden. Secara tersirat Presiden meminta pengertian dari seluruh rakyat Indonesia, keputusan itu tak dapat dihindarkan akibat harga minyak dunia yang mencapai titik tertinggi dalam sejarah.

Argumentasi pembelaan diri lainnya menyangkut kerawanan pangan akibat lonjakan harga sejumlah kebutuhan pokok yang terjadi setahun terakhir. Dikatakan Presiden, harga pangan di berbagai penjuru dunia melonjak drastis dan ekonomi dunia menuju resesi.

Presiden juga mengutip Bank Dunia yang memprediksi situasi energi dan pangan yang seperti ini berpotensi memicu krisis sosial, ekonomi, dan politik di 33 negara dan mengakibatkan 100 juta orang di seluruh dunia kembali jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Mengenai ini, Presiden menjawabnya dari sisi mentalitas bangsa. Presiden memompakan semangat, kita adalah bangsa yang memiliki pejuang yang bermental ”Harus Bisa!”. Apa pun masalahnya, kapan pun masanya, seberapa pun keterbatasannya, kalau kita bermental ”bisa”, kita semua ”bisa”, dan Indonesia pasti ”bisa”!

Titik lemah

Meskipun pilihan kata ekonomi seputar pangan dan energi jauh meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun kata ”investasi” cenderung tidak terlalu ditonjolkan.

Dari penelusuran, kata ”investasi” selama pidato kali ini hanya diucapkan Presiden sebanyak empat kali. Kurang diperoleh gambaran tentang kebijakan seperti apa yang Presiden arahkan untuk memperbaiki iklim investasi. Jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang 25 kali, kata investasi tampaknya bukan merupakan hal yang ingin ”dijual” menjelang berakhirnya masa lima tahun pemerintahannya.

Tidak ada komentar: